Laman

Jumat, 12 November 2010

Suka duka Warga Pesisir Pantai

(Tiap tahun dihantam ombak, sekarang dihantui tsunami)
Malang benar nasib warga yang tinggal di kawasan pantai. Saat cuaca cerah, mereka meraup untung, hidup dari laut dan bersahabat dengan laut. Saat cuaca buruk, laut seakan menuntut balas dari mereka, harta yang selama ini dikumpulkan dari hasil laut, habis direnggut ombak.
Laporan yang sampai ke kantor lurah, 32 bangunan hancur dihantam ombak. Diantaranya gudang ikan, rumah warga, dan warung-warung yang berjejer sepanjang Pasie Nan Tigo. Bahkan dua jembatan pun ambruk karena abrasi. Laut sudah semakin luas, sekarang tidak ada lagi pantai, yang ada hanyalah air laut yang berbatasan langsung dengan badan jalan. Tiang listrik yang terletak dipinggir jalan juga sudah tumbang dihantam ombak.
Saat Padang Ekspres berkunjung ke sana, tidak banyak aktivitas yang terlihat. Warga hanya duduk-duduk di teras rumah dan warung-warung. Cuaca telah memaksa mereka untuk diam di rumah. Memang sepertiga dari warga Pasie Nan Tigo berprofesi sebagai nelayan. Total 1450 kepala keluarga yang tercatat sebagai nelayan. Untuk mencari rezeki mereka tergantung pada cuaca.
Saat cuaca buruk seperti sekarang, warga tidak bisa berbuat apa-apa, bahkan saat ombak menghantam dinding rumah dan warung mereka. Memang tidak ada yang bisa menghentikan ombak. Sementara puluhan rumah lainnya seakan untuk menunggu waktu hanyut atau terseret ombak besar yang selalu datang saat bulan terang (purnama).
Salah seorang ninik mamak suku Sikumbang, Mak Wan, 58, mengatakan, saat cuaca buruk seperti ini, kita bisa cari anak yang tidak belanja, dapur yang tidak mengepul asapnya, dan di warung-warung yang ada hanyalah orang datang untuk berhutang. Toke-toke kapal juga jadi sasaran untuk berhutang oleh anak-anak buah kapal dan warga yang menggantungkan hidupnya dari laut.
Perkataan Mak Wan dibenarkan oleh Taufik, 52, seorang nelayan yang tinggal di kawasan Pasie Nan Tigo. Semenjak 2 hari sebelum tsunami melanda mentawai dia sudah tidak bisa melaut. Sementara dia menghidupi istri dan 8 anaknya hanya dari melaut. Biduk kecil sebagai alat pencari rezeki baginya hanya parkir di pantai. Menurutnya, jangankan cuaca buruk seperti ini, saat hari bersahabat saja dia susah mencari penghasilan berlebih. 6 anaknya terpaksa mengikuti jejaknya untuk melaut. “Tinggal dua anak saya yang sekolah, yang lainnya sudah mengikuti jejak saya melaut. Saya tak punya daya untuk menyekolahkan mereka,” ujarnya saat ditemui sedang memperbaiki jala yang akan dipakainya untuk mencari ikan saat cuaca sudah mendukung. Menurut Taufik, untuk bertahan hidup saat cuaca buruk, sehari-hari dia biasanya berutang pada pedagang yang berjualan di Pasar Pagi di dekat kantor lurah Pasie Nan Tigo. Saat cuaca cerah dia mengangsur utangnya. Ambil satu bayar satu istilahnya.
Lain lagi dengan Afriyani, wanita 4 anak yang tinggal di tepi pantai ini ketakutan saat Padang Ekspres berkunjung ke rumahnya. Dia berpikir yang datang adalah juragan kapal menagih hutang. Separuh rumahnya sudah tertimbun pasir. Untuk masuk ke rumahnya kita harus merunduk, karena lebih tinggi kita dari pada pintunya. Di dalam rumahnya dipenuhi pasir, bahkan dia sempat menunjukkan dibawah tempat tidur dan lemarinya yang dipenuhi pasir. Pasir itu selalu dibawa ombak saat cuaca buruk. Didalam rumahnya ada parit yang gunanya untuk tempat mengalirkan air saat ombak pasang dan air memasuki rumahnya. Di samping rumahnya ada tempat perebusan dan penjemuran ikan yang sudah ambruk dilibas ombak. Dia mengaku tidak kuasa untuk memperbaikinya karena tidak punya dana.
Bertahun-tahun Afriyani hidup dari laut, jika cuaca normal dan ada rezeki dia bisa berpenghasilan Rp. 50 ribu sehari, namun kadang harus tekor dan berhutang. Semenjak cuaca buruk dia sudah berhutang hampir 2 juta.
Sehari-hari Afriyani kerjanya mengolah ikan jadi ikan kering. Saat pagi datang dia pergi mengejar ikan yang datang dengan kapal, berbasah-basah dan berkejaran, bersaing dengan laki-laki yang tentu saja lebih gesit dan kuat darinya. Dia berdua dengan suaminya Riswandi. Mereka kemudian membelinya Rp. 300 ribu sekeranjang. Selanjutnya ikan tersebut direbus dan dijemurnya. Selanjutnya ia menjual ke kawasan Pasar Raya dengan harga Rp. 340 ribu sekeranjang. Dia bisa memperoleh untung Rp. 10-15 ribu sekeranjang. Jika harga ikan sedang murah, toke hanya menghargai sebesar Rp. 280 ribu sekeranjang. Terpaksa dia menambal kekurangannya.
Semenjak cuaca buruk, tidak ada sepeserpun uang yang dihasilkannya, sementara dapur harus terus mengepul dan anak-anak harus sekolah, tentu saja mereka membutuhkan ongkos.
Suaminya yang berasal dari Lubuk Minturun terpaksa “pulang kampung”, untuk mencari penghasilan tambahan di tanah keluarganya. Namun seakan tidak berbeda, cuaca juga menghukumnya, sehingga tidak bisa bekerja mengolah tanah. Riswandi terpaksa meminjam duit orang tuanya untuk membiayai istrinya. “tidak ada sepeserpun uang yang saya hasilkan, suami saya juga sudah berusaha, namun beginilah nasib kami yang bergantung hidup dari alam, hujan membuat kami tidak bisa berbuat apa-apa,”ujarnya.
Afriyani seakan menunggu waktu sampai pasir akan menimbun rumahnya sepenuhnya. Dia tidak pernah melaporkan hal ini ke kelurahan. Dia mengaku tidak tahu bagaimana caranya, dan lurah pun tidak pernah meninjau keadaan mereka yang hampir tertimbun pasir tersebut.
Cuaca mulai cerah kembali, nelayan mulai bersiap-siap melaut. Terlihat pemuda yang kekar-kekar mengangkat perlengkapan ke biduk untuk diantar ke kapal besar yang parkir agak jauh ke tengah. Mereka membawa beras, air mineral, cabe, dan semua kebutuhan lain yang diperlukan. Menurut Abu Nawir, 58, semua itu dihutang dan akan dibayar setelah pulang dari laut. Itupun kalau dapat ikan dan alam tidak kembali “marah” sore harinya. Harapan mereka tidak pernah pudar, cinta mereka pada profesinya juga tidak pernah berubah, kita tidak tahu apakah betul-betul cinta atau tidak ada pilihan lain.
Besoknya setelah pulang dari laut mereka belum juga dinaungi keberuntungan. Ikan hanya sedikit yang masuk dalam perangkap mereka, biasanya dapat sampai 10 keranjang, sekarang hanya 1 atau 2 keranjang, ujar salah seorang warga. Yang lebih malangnya lagi, ikan yang hanya 1 dan 2 keranjang tersebut tidak bisa mereka olah lagi. Tempat merebus, menjemur dan menyimpan ikan telah hilang diseret ombak. “Kami tapaso manjamua di halaman rumah, pantai indak ado lai, kami iyo berharap bana disiko dipasang batu,” ujar salah seorang nelayan sambil menatap ke bangunan gudang ikannya yang telah hancur.
“Kok takuik dilamun ombak jan barumah di tapi pantai”, tampaknya penggalan lirik lagu ini sangat pas untuk warga Pasie Nan Tigo. Namun mereka nampaknya memang tidak pernah takut. Dari puluhan tahun yang lalu mereka hidup dari laut, bergantung dari cuaca, mereka bertahan walau terkadang laut murka terhadap mereka.
Sudah Terbit di Harian Pagi Padang Ekspres

Tidak ada komentar:

Posting Komentar