Laman

Senin, 29 November 2010

Ramal Nasib dengan Batu angkek-angkek


Penulis saat Berpose dengan batu angkek angkek
Tanya Jodoh, Sampai Lulus tes PNS
Jika bicara mengenai objek wisata di Tanah Datar, maka banyak wisata benda cagar budaya dan terkesan religius juga mistik yang akan kita temui. Salah satunya adalah Batu Angkek-Angkek. Apa keunikan dan mistik yang ada di Batu Angkek-Angkek?
Laporan Hijrah.A,S
Objek wisata ini jika dilihat sekilas tidak ada yang menarik, hanya berupa sebuah rumah gadang, di dalamnya ada sebuah batu sebesar batu penggilingan cabe dan berbentuk kura-kura,batu ini sekilas mirip tembaga serta bertuliskan lafadz Allah dan Muhammad. Batu itulah yang dinamakan batu angkek-angkek.
Batu ini terletak di Rumah Gadang Dt. Bandaro Kayo, salah seorang kepala kaum suku Piliang. Di depan rumah gadang ada plang yang menceritakan awalnya ada batu angkek-angkek. Menurut plang itu, sejarah batu angkek-angkek diawali mimpi Dt. Bandaro Kayo. Ia didatangi oleh Syech Ahmad dan disuruh mendirikan sebuah perkampungan yang sekarang dikenal dengan nama Kampung Palangan. Pada saat pembangunan tonggak pertama, terjadi peristiwa aneh. Yakni terjadinya gempa lokal dan terjadinya hujan panas selama 14 hari dan 14 malam. Karena terjadi peristiwa itu maka diadakanlah musyawarah. Saat musyawarah berlangsung ada suara gaib yang berasal dari lobang pemancangan bangunan yang mengatakan di lokasi itu terdapat sebuah batu yang dikenal dengan nama batu Pendapatan, suara itu berpesan bahwa batu itu harus dirawat dengan baik. Sekarang batu itu dengan nama batu angkek-angkek, ramai dikunjungi oleh wisatawan. Untuk mengetahui pertanda niat seseorang tercapai atau tidaknya maka dapat dilihat dengan terangkat atau tidaknya batu tersebut. Terletak di Desa Balai Tabuh Kecamatan Sungayang.
Sampai di dalam rumah kita akan dipersilahkan duduk oleh tuan rumah. Di sebelah kiri akan terlihat banyak oleh-oleh yang dipajang, berupa kerajinan tangan khas Sumatera Barat, madu, dan lain-lain. Di sebelah kanan adalah ruang keluarga yang menghuni rumah gadang tersebut. Di ruang tengah ada sebuah bagian ruangan yang dibatas dengan kerai. Di sana ada batu yang terletak di atas kain putih, di sampingnya ada kelambu berwarna merah, di dalam kelambu tersebut ada sebuah katidiang (keranjang red).
Di dinding rumah ada tulisan yang menjelaskan bagaimana cara meramal atau mengetahui niat kita akan tercapai atau tidak. Menurut petunjuk itu sebelum melakukan ritual mengangkat batu kita harus mengambil wudhu terlebih dahulu. Setelah mengambil wudhu kita masuk ke ruangan dengan membaca salam, lalu duduk bersimpuh di depan batu. Setelah duduk maka kita harus baca bismillah dan baca shalawat nabi 3 x. Kemudian kita sampaikan “Ya Allah, hanya kepada engkaulah aku meminta dan hanya engkaulah yang mengabulkan permintaanku, apabila…… (sampaikan niat, missal : Apabila aku memang berjodoh dengan pacarku yang sekarang, maka ringankanlah batu ini). Selanjutnya cobalah angkat batu tersebut. Konon jika batu tersebut bisa kita angkat, berarti berkemungkinan niat yang kita sampaikan dalam hati tersebut akan tercapai.
Mul, 45, salah seorang pengunjung asal Solok mengaku telah berulang kali ke batu ini. dia juga sering melakukan ritual mengangkat batu. Menurutnya dalam mengangkat batu dia sering membalik-balikkan niatnya. Misal, “jika niat saya tercapai, maka ringankanlah batu ini. atau sebaliknya jika niat saya tercapai maka beratkanlah batu ini,” maka hasilnya pasti berbeda-beda.
Padang Ekspres jadi penasaran dan mencoba mengangkat batu ini. Setelah mengambil wudhu dan ikuti petunjuknya, Padang Ekspres baca niat, “jika saya bisa jadi jenderal, maka ringankanlah batu ini,” ternyata tidak berhasil. Selanjutnya wartawan Koran ini mencoba “jika saya bisa jadi jenderal maka beratkanlah batu ini,” yang terjadi justru batu ini jadi ringan.
Badan besar tidak menjamin terangkatnya batu ini. Mul yang badannya besar bak tentara, berulang kali mencoba mengangkat batu ini. terkadang bisa, terkadang tidak. Katanya beda niat, maka beda pula beratnya. Bahkan kadang tidak bisa diangkat.
Menurut Alvi, 32, yang merupakan pengelola rumah dan batu ini mengatakan bahwa banyak prediksi batu ini yang menjadi kenyataan. Namun Alvi mengatakan bahwa batu itu hanyalah benda mati yang beratnya berubah-ubah. Sebaiknya jangan dipercayai, namun dijadikan motivasi.
Seorang pengunjung lainnya, Rio, 24, yang baru sekali ini mengunjungi batu angkek-angkek dan datang dari Padang mengaku penasaran dengan batu tersebut. “Saat saya angkat tanpa baca niat, maka batu itu tidak terangkat. Namun saat say abaca dengan niat batu ini bias saya angkat. Mudah-mudahan prediksinya benar, saat saya niatkan lulus PNS tahun ini, batu ini berhasil saya angkat. Namun bukan berarti saya percaya, hanya membuat lebih percaya diri,” ujarnya malu-malu.
Menurut Alvi, batu ini sudah dikunjungi orang dari berbagai daerah. Mulai dari sekitar Sumbar, bahkan sampai dari Malaysia. Tidak jarang warga keturunan datang ke batu angkek-angkek dan mengikuti ritual angkat batu, walau harus ambil wudhu dan baca shalawat.
Jika kita dari ibukota kabupaten Tanah Datar, Batusangkar, Batu angkek-angkek bias ditempuh dengan kenderaan pribadi maupun umum, bahkan ojek dengan jarak 11 km. memang tidak ada petunjuk jalan atau arah ke sana. Namun apabila kita ikuti jalan dari Batusangkar ke Sungayang, di sebelah kanan akan ada sebuah tugu dengan tulisan Batu angkek-angkek. Seratus meter dari simpang tersebut akan kita jumpai sebuah rumah gadang, disitulah terletak batu angkek-angkek.
Untuk masuk ke rumah kita harus membayar Rp. 3000 per orang dan kita akan mendapatkan karcis pertanda uang itu nantinya akan disetor atau dibagi dengan pemerintah kabupaten maupun nagari.
Namun Alvi menyayangkan perhatian pemerintah yang kurang terhadap batu angkek-angkek. Alvi mengharapkan ada petunjuk jalan yang dipasang, karena banyak orang tersesat sebelum menemukan rumah ini, karena letaknya dalam kampong. Alvi mengaku susah menjaga rumah yang sudah berumur seratus tahun dan sering dikunjungi. Alvi mengaku rumah tersebut masih sesuai dengan aslinya. Hanya lantai dan atap yang telah diganti karena telah lapuk dimakan usia.

Kisah Penjaja Sapu Lidi di Jalanan Kota Padang

Kalau Sapu Tidak Habis Tidak Pulang Ke Rumah

Saat anak-anak sebaya mereka sedang belajar di sekolah, segerombolan anak-anak ini malah berkeliaran di lampu merah dan persimpangan. Mengharapkan uang yang tak pasti mereka datang ke Padang untuk menjual sapu lidi. Bagaimana kisahnya?
Laporan Hijrah.A.S
“Sapu sapu sapu, pak sapu pak”. Jika kita berhenti atau melintas di lampu merah simpang Padang Baru yang menghubungkan antara Jalan Khatib Sulaiman dan Rasuna Said, maka kita akan dengar dan saksikan anak-anak kecil menjajakan sapunya seperti kalimat diatas.
Mereka masih sangat kecil-kecil, bahkan kepalanya saja belum sampai ke jendela mobil. Tak jarang mereka harus jinjit agar kelihatan oleh pemilik mobil. Umurnya berkisar dari 9-16 tahun, sekolahnya dari kelas dua SD sampai SMP.
Salah seorang dari mereka bernama Iqbal, umurnya baru 14 tahun, sekarang dia duduk di kelas 5 SDN 04 Kurai Taji. Menurutnya hampir semua penjaja sapu lidi di simpang jalan dan komplek-komplek berasal dari Pariaman. Ada yang berasal dari Ulakan, dari Kurai Taji, Pauh Kambar. Iqbal sendiri berasal dari Kurai taji. Ayahnya seorang buruh pembuat batu bata, sedangkan ibunya hanya seorang ibu rumah tangga. Iqbal merasa perlu turun tangan untuk menambah belanjanya, sehingga dia ikut-ikutan temannya pergi menjajakan sapu lidi ke kota Padang.
Jam 4 subuh mereka sudah bangun dan mengambil sapu lidi di kawasan Kurai Taji. Mereka membawa sesuai kemampuan mereka. Ada yang membawa 10 buah, kalau kuat bisa bawa sampai 20 buah. Modal satu sapu lidi Rp. 3 ribu, lalu mereka jual Rp 5 ribu. Jika terjual semuanya maka bisa untung Rp 20 ribu, namun harus keluarkan ongkos bus pulang pergi Rp 10 ribu dan makan. Biasanya sisa Rp 5 ribu. Namun bisa lebih kalau ada orang yang kasihan dan kasih mereka duit walau tidak membeli sapu mereka. Jika sapu tidak habis Iqbal dan kawan-kawannya tidak pulang dan memilih tidur di Padang. “Baa ka pulang, sapu ndak abih do, tu ado baban lo pulang, pitih ndak dapek do,”ujarnya. Biasanya mereka tidur di Pom bensin di Simpang Padang Baru itu. Saat padang Ekspres berbincang dengannya pada jam 11 siang, belum ada satupun sapu lidi Iqbal yang terjual, dia dan temannya sepakat untuk pergi berjaja keliling kampong, karena di simpang lampu merah tersebut sangat ramai penjaja sapu lidi, mereka berkumpul di sebrang pos Polisi sekitar 15 orang. Saat lampu merah, mereka berebut untuk menawarkan sapunya. Tidak hanya dengan sesame penjaja sapu lidi, namun juga dengan pengemis dan pedagang asongan lainnya.
Sedangkan Riko, 11, asal Ulakan siang itu sapunya sudah habis terjual. Katanya dia tadi menjajakannya sampai ke Seberang Palinggam. Dia tidak langsung pulang, dia nongkrong di simpang itu menunggu abangnya yang juga berjualan sapi lidi. “Sabananyo sapu lidi uda awak tadi lah abih, tapi nyo ibo mancaliak punyo kawan yang alun tajua, tu dibalinyo punyo kawan tu,”ujarnya polos.
Riko termasuk salah satu anak yang ramah dan santun diantara rombongan penjual sapu lidi ini. Dia masih bisa bicara hormat pada orang yang lebih besar. Sementara teman-temannya tidak lagi bisa membedakan mana kawan sebaya dan mana yang orang dewasa. Mungkin karena sudah tidak memperdulikan pendidikan lagi, atau memang terdidik untuk mencari uang, atau juga karena factor hidup di jalanan, mereka jadi lupa tentang pentingnya sopan santun dan keramahan. Pada Padang Ekspres yang berbincang dengan temannya, mereka tidak segan-segan meminta uang, dan berbicara seenaknya, bahkan berani mengancam melarang temannya berbicara kalau tidak memberi uang.
Namun Riko nampaknya tidak terpengaruh. Menurut Riko hari ini dia tidak sekolah karena Hari Guru. Biasanya dia hanya berjualan sapu pada hari Minggu dan tanggal merah.
Sedangkan Anto, masih berumur 10 tahun. Dia juga berasal dari Kurai taji. Ayahnya juga buruh pembuat batu bata. Sekarang Anto masih kelas 2 SD. Katanya dia sudah dua kali tinggal kelas.
Menurut mereka, orangtua mereka tidak melarang mereka pergi meninggalkan kampong halamannya untuk mencari uang Rp 5 – 10 ribu tersebut. Mereka juga tidak merasa terbebani karena pergi bersama-sama. Hanya untuk uang sebanyak itu mereka harus menantang maut, meninggalkan orangtua dan berjaja sepanjang kota Padang.
Namun nampaknya hal ini tidak mendidik mereka. Sepertinya orientasi anak-anak yang masih berseragam merah putih ini hanya uang. Tidak ada arahan dan bimbingan dari pihak manapun. Kita tidak tahu seperti apa orang tua mereka. Kita juga tidak tahu bagaimana pemerintah menilai hal ini. Apakah tidak ada pejabat yang lewat di jalan protocol ini dan menyaksikan anak usia sekolah SD menjajakan sapu lidi di jam sekolah? Mau jadi apa mereka nanti kalau ternyata jalanan mendidik mereka hanya untuk mencari uang dan kehilangan sopan santun karenanya?

PNS, PRIMADONA PARA PENCARI KERJA NEGERI INI

Minggu Pagi kali ini (28/11) kampus UNP berbeda dari biasanya. Jika biasanya kampus sepi karena tidak adanya perkuliahan, maka kali ini sangat ramai, sesak dipenuhi manusia. Bahkan sekitar seratus meter menjelang gerbang UNP jalanan sudah macet. Polisi lalulintas dan Satpam kampus jadi sibuk mengatur arus lalu lintas, di dalam dan di luar kampus. Setibanya di kampus, terlihat orang-orang tadi sibuk dan terburu-buru.
Ya, hari Minggu kali ini UNP dipenuhi oleh orang-orang yang penuh dengan asa. Mereka akan mengikuti ujian tes untuk menjadi PNS. Cita-cita sebagian besar penduduk negeri ini. Terbukti lebih dari 5 ribu orang bertarung memperebutkan formasi yang tersedia tidak sampai 300 orang.
UNP adalah lokasi ujian penerimaan CPNS untuk ditempatkan di Provinsi. Berdua dengan Universitas Bung Hatta, dipilih oleh BKD Provinsi Sumbar sebagai tempat penyelenggaraan ujian.
Namun ujian berjalan tidak seperti biasanya. Waktu sudah pukul 8 lewat, namun banyak peserta ujian yang tidak tahu harus mengadu untung dimana. Di nomor ujian mereka lokasi ujiannya hanya tertulis gedung UNP, tanpa tahu dimana lokasi secara detailnya Di kaca rektorat yang tidak dipakai lagi ditempel pengumuman lokasi ujian. Peserta berdesak-desakan melihat pengumuman itu. Setelah melihat pengumuman itu, peserta selanjutnya harus mencari lokasi yang disebutkan.
. “Pak gedung FBSS dimana pak? Ujar salah satu peserta pada petugas yang membantu memberi petunjuk. Petugas tersebut menunjukkan dan tak ayal, karena waktu yang sudah mepet, tukang ojek pun panen kecil-kecilan pagi itu.
Salah seorang peserta lainnya mengatakan dia tidak tahu lokasi ujiannya dimana, maklum kampus UNP memang luas. Sementara panitia baru menempel pengumuman lokasi ujian tadi malam. Maka pagi itupun, selain memikirkan apa soal yang akan keluar, maka peserta juga harus berpikir dimana lokasi ujian mereka.
Setelah pukul Sembilan, suasana mulai tenang, walau masih ada orang yang kebingungan mencari lokasi ujian. Kendaraan tersusun di pinggir-pinggir jalan dan halaman kampus. Ada tukang parkir dadakn yang duduk –duduk di dekat kenderaan mereka, umumnya tukang parkir tersebut adalah anak-anak sekitar kampus. Ada yang masih bercelana SMP, namun ada juga yang sudah dewasa. Pemilik kenderaan sedang mengadu untung di hadapan lembaran soal dan jawaban. Kening mereka mulai berkerut-kerut, bahkan ada yang menggaruk-garuk kepala.
Di beberapa kelas ada peserta yang tidak datang mengikuti ujian. Mungkin putus asa, atau mungkin sudah memilih daerah lain sebagai tujuannya mengadu untung.
Salah seorang pengawas yang enggan disebutkan namanya mengaku prihatin dengan penyelenggaraan ujian kali ini. Menurutnya panitia tidak siap, terbukti dari lokasi ujian yang baru ditentukan malam menjelang ujian. Pengawas ujian tersebut juga prihatin dengan banyaknya pelamar PNS, menurutnya itu adalah karena gagalnya pemerintah menciptakan lapangan pekerjaan. Bahkan ada juga orang yang sudah menjadi pegawai swasta masih mengikuti ujian CPNS, hal itu menurutnya terjadi karena orang-orang tersebut belum mendapatkan jaminan hidup maupun kesejahteraan ditempatnya bekerja sekarang. “Jika saja lapangan pekerjaan banyak, atau kesejahteraan pegawai swasta terjamin, pelamar CPNS tentu tidak akan sebanyak ini,”ujarnya ketus.
Hal tersebut diakui oleh salah seorang staf BKD. Pelamar yang membludak membuat BKD kelabakan, jika tahun lalu pelamar untuk Provinsi hanya 3500an, maka tahun ini mencapai lebih dari 5000 orang. Padahal BKD hanya memprediksi pelamar sekitar 4000 orang, sehingga memang BKD agak keteteran dalam menentukan lokasi ujian.
Selanjutnya Padang Ekspres berjalan-jalan ke UBH, tempat pelaksanaan ujian berikutnya. Keadaan juga tenang, mereka ujian di local-lokal kuliah, bahkan sampai ke lantai 3 dan 4 kampus proklamator tersebut. Pemandangan terlihat indah, laut menghampar bisa disaksikan dari tempat mereka memikirkan soal-soal yang akan membawa mereka menjadi pegawai negeri, angina juga berhembus sepoi-sepoi. “Senang rasanya mengawas disini,” ujar salah seorang pengawas. “Anginnya sepoi-sepoi, seperti ada AC alam, namun kalau gempa bingung juga,”ujarnya. Ternyata gempa selalu menjadi pemikiran sebagian orang saat menaiki gedung bertingkat di kota ini.
Beberapa saat setelah itu ujian selesai. Peserta pun keluar satu per satu. Wajah-wajah optimis itu kemudian menemui pengantarnya yang menunggunya. Ada salah seorang pengantar mengaku mengantarkan pacarnya yang mengikuti ujian. “Saya mengantar pacar saya, mudah-mudahan dia lulus, agar kami bisa segera menikah,”ujar pria yang mengaku memiliki bengkel kecil-kecilan di kawasan Bukittinggi ini.
Salah seorang peserta yang datang jauh-jauh dari Jakarta mengaku agak kesal saat ujian. Sudah ujian PNS pun masih banyak yang mencontek, sungguh kebiasaan buruk di Negara ini. Menurutnya dia sudah bekerja di salah satu media cetak di Jakarta, ternyata rekan satu profesi dengan wartawan Koran ini. Dia ikut tes bukan tidak senang dengan profesinya, dia hanya merasa tidak sejahtera dan merasa tidak menjamin masa depannya. Apalagi dia wanita, susah untuk bekerja dari pagi sampai malam apabila sudah punya anak. “Saya senang dengan pekerjaan saya yang sekarang, namun orang tua memaksa ikut tes, katanya nanti saya susah saat sudah bekeluarga, karena wanita harus mengurus anak. Lagipula orang tua merasa pekerjaan saya sekarang tidak menjamin masa depan saya,”ujarnya tersenyum, menyalami temannya dan kemudian beranjak pergi. Dia datang kemarin siang dengan pesawat dan akan berangkat lagi sore ini, karena pekerjaannya yang sudah menunggu. Dia memang tidak minta izin untuk ikut tes PNS.

Jumat, 12 November 2010

Amurdi, menghabiskan masa tua di penjara karena narkoba

Siang itu matahari bersinar dengan sangat teriknya. Di lapas Muaro Padang sedang sibuk karena banyak kegiatan, waktu itu adalah jam besuk. Banyak keluarga narapidana yang datang berkunjung silih berganti. Sementara di Pagar lapas ada seorang laki-laki tua sedang bekerja mengecat pagar lapas yang sedang direnovasi. Laki-laki tua itu bekerja dengan tekun, keringat bercucuran membasahi tubuhnya.
Bapak itu bernama Amurdi, berpakaian warna orange bertuliskan warga binaan lapas Muaro Padang. Mungkin tidak ada yang menyangka dia adalah seorang narapidana. Sudah sembilan tahun dia menghuni lapas Muaro Padang karena terlibat kasus penyimpanan 63 kg ganja. Narkoba telah membawa bapak berumur 60 tahun ini mendekam di lapas, ditinggal kawin oleh istrinya dan menghabiskan hari tuanya di LP. Berawal dari pernikahan anak perempuannya dengan seorang pria yang berasal dari Aceh, Amurdi pun berkenalan dengan ganja. Awalnya calon menantu mengaku mempunyai 2 buah toko pakaian di Jakarta, Amurdi dan istri semangat menerimanya menjadi menantu. Setelah menikah dengan anaknya ternyata Amurdi mendapati menantunya adalah seorang Bandar besar ganja, tidak tanggung-tanggung puluhan kilo ganja disimpan di rumah. Amurdi yang awalnya adalah pekerja serabutan seakan tidak bisa berbuat apa-apa, dengan alasan demi anak, ia membenarkan tindakan menantunya, bahkan ikut dalam bisnis narkoba tersebut.
Sepandai-pandai tupai melompat, akhirnya akan jatuh juga, seakan-akan pepatah itu sangat tepat ditujukan untuk Amurdi, beberapa hari menjelang lebaran di tahun 2001 polisi datang menggeledah rumahnya dan akhirnya dia divonis 18 tahun penjara.
Sekarang sembilan tahun sudah berlalu, Amurdi sudah semakin tua, rambutnya sudah memutih, tubuhnya pun sudah semakin ringkih. Hari-harinya dilalui dengan penyesalan. “Seandainya saya tahu betapa tidak enaknya hidup dalam penjara, tidak akan pernah saya coba-coba menyentuh barang haram itu,”sesal bapak yang hanya sekolah sampai kelas 2 SD ini.
Karena Narkoba, Amurdi mendekam di penjara. Dari pagi, siang, sampai malam dia hanya bisa melihat dinding-dinding kelam penjara. “Saya biasa berjalan, karena saya pernah jadi kernet mobil, dalam lapas ini pemandangan saya terkungkung, tersiksa sekali rasanya,” ujarnya. Amurdi Makan nasi jatah, berharap merokok dan ngopi dari belas kasihan orang. Hidup dalam penjara ternyata memang tidak nyaman. Ya, semenjak Amurdi tersandung kasus narkoba, istrinya memilih untuk meninggalkannya dan menikah dengan pria lain. Anak-anaknya pun hanya sesekali datang menjenguknya. “Mungkin anak-anak saya hidupnya juga susah di luar sana, makanya mereka tidak bias membesuk saya, untuk hidupnya saja mereka mungkin sudah kewalahan,” tutur gaek yang berasal dari Tanah Sirah Cengkeh ini..

Memulai Hidup Baru
Sampai suatu hari masuklah seorang narapidana dengan kasus yang narkoba juga. Semenjak masuk lapas Amurdi melihat perubahan drastis pada pemuda itu. Pemuda itu jadi rajin shalat dan ibadah lainnya. Pemuda itu menjalani hari-harinya dengan membuat perubahan dan mendekatkan diri dengan penciptanya. Amurdi jadi terinspirasi dan berawal dari malu-malu Amurdi pun mulai belajar mendekatkan diri pada yang kuasa. Amurdi jadi lebih istiqomah dalam menjalani hidup. Walaupun termasuk tahanan terlama dan tertua, Amurdi jadi lebih rajin dalam segala aktivitas lapas dan aktivitas pribadi. Sekarang Amurdi telah dipercaya oleh petugas untuk menolong pekerjaan di lingkungan lapas. Mulai dari bertukang, mengecat, dan pekerjaan-pekerjaan lainnya. “Setelah bertahun-tahun memandang dinding, saat memperbaiki atap yang bocor saya bisa menyaksikan dunia luar, lapang sekali rasanya,” ceritanya. Amurdi merasa hidupnya jadi lebih baik. Petugas lapas pun semakin percaya padanya, sekarang Amurdi telah dipercaya mengecat pagar bagian luar, walaupun masih diawasi, Amurdi setidaknya bisa bertukar pemandangan yang selama ini terkungkung.
Karena perilaku baik dan perubahan yang ditunjukkan Amurdi, Lapas Muaro bersedia menguruskan Surat Keterangan Bebas Bersyarat untuk Amurdi, mudah-mudahan dalam waktu yang tidak lama lagi Amurdi akan segera menghirup udara bebas. Tentunya tetap wajib lapor dalam waktu yang ditentukan.
Amurdi tidak mempunyai rencana apa-apa saat bebas nanti. Dia hanya ingin kembali ke rumah orangtuanya dan memulai hidup baru. “Saat saya bebas nanti saya akan mencari pekerjaan yang halal, sedikitpun tidak ada niat saya untuk menyentuh dan mencari duit melalui narkoba,”ungkapnya. Melalui Padang Ekspres Amurdi berpesan agar para remaja janganlah sekali-sekali mencicipi atau mencoba narkoba. “ Ingatlah sesal datang kemudian, sangat tidak enak hidup dalam penjara, masa depan hancur, badan juga hancur kalau kita memakai narkoba, semua orang menjauhi kita, hidup jadi orang tercampak,”pesannya.(hijrah)

Ngabuburit Xtreme


Kreatifitas Berbahaya yang menyedot perhatian di Ngalau Indah Payakumbuh
Banyak cara dilakukan oleh mereka yang berpuasa dalam menunggu waktu berbuka atau ngabuburit, salah satunya adalah atraksi sepeda motor oleh sejumlah remaja di kawasan Ngalau Indah Payakumbuh. Adalah 387Xtreme Payakumbuh nama komunitas sekelompok anak muda asal Situjuah ini, yang mempunyai hobi menampilkan berbagai atraksi unik di atas sepeda motor. Mereka tak mempedulikan atraksi yang mereka tampilkan akan mendapat cacian atau pujian dari orang-orang yang menontonnya. Sambil menunggu waktu berbuka, anak-anak muda yang hobi naik motor ini menampilkan kemampuan mereka di hadapan sejumlah orang.
”Kami memang sengaja berkumpul di tempat ini beratraksi sambil menunggu waktu berbuka. Ini sudah kami lakukakan bertahun-tahun,” kata Hengki, ketua komunitas ini, yang turut tampil dalam atraksi tersebut. Atraksi di atas sepeda motor yang dilakukan Hengki dan kawan-kawannya terkadang membuat ngeri orang yang melihatnya. Bayangkan saja, sepeda motor yang mereka tumpangi bisa melompat ke sana kemari seperti menari-nari.
Penampilan berbahaya yang dilakukan komunitas ini memang mampu menyedot perhatian ratusan orang yang datang dan lewat di Ngalau Indah Payakumbuh. Bagi sebagian anak muda yang tinggal di wilayah Payakumbuh dan sekitarnya, kawasan yang berada di tepi jalan Bukttinggi-Payakumbuh itu menjadi tempat favorit untuk menunggu datangnya waktu berbuka. Bagi Hengki dan kawan-kawannya, ada atau tidaknya orang-orang yang datang untuk menonton bukan masalah. Bagi mereka beratraksi seperti itu adalah untuk kesenangan semata. “Freestyle adalah hidup kami”, katanya. ”Biasanya kami kumpul di sini setiap sore,selagi tidak hujan, kami akan atraksi dan selalu mengundang perhatian. Selama bulan Puasa,ternyata lebih banyak orang yang menonton,” kata Hengki.
Hengki bercerita, komunitas anak-anak muda yang punya hobi beratraksi di atas motor ini terbentuk secara tak sengaja. ”Latar belakangnya, kami suka freestyle di sepanjang jalan di Situjuah, lalu kami di fasilitasi Forum Kreatif Muda Payakumbuh dan LimapuluhKota untuk memakai pelataran parkir ini sebagai tempat ngumpul dan latihan, akhirnya banyak yang datang menonton dan memperhatikan kami” tuturnya.
Berbicara tentang nama 387Xtreme Payakumbuh, hengki berkisah, pada awalnya mereka yang gila atraksi adalah 3 orang, karena saking gilanya mereka menamakan 387, angka 3 dari jumlah anggota pertama, yaitu, Hengki, Yudha dan Benny, dan 87 adalah angka untuk orang gila. Selanjutnya karena telah melihat penampilan mereka, akhirnya banyak anak-anak lain yang bergabung. Bahkan ada beberapa anak yang masih berumur 15 tahun dan sekolah di SMP, sudah lihai dan tidak takut untuk atraksi diatas sepeda motor.
Atraksi yang ditampilkan anak-anak dari 387Xtreme Payakumbuh ini sungguh menarik dan berbahaya. Bahkan, bagi mereka sepeda motor bagaikan sebuah mainan yang bisa diperlakukan seenaknya. Bayangkan, dengan santainya mereka standing dan menari-nari dengan sepeda motornya. Mereka juga tak segan-segan untuk standing dengan penumpang sepeda motor 4 orang. Mereka juga bisa berhenti dan mengangkat ban belakang dengan sebelah tangan.
Semakin sore, atraksi dari para penggila freestyle ini semakin heboh dan berbahaya saja, tidak jarang motor harus lepas dan terbanting ke aspal, namun untuk keamanan anak-anak 387Xtreme menggunakan helm, juga pengaman siku dan lutut. ”Untuk bisa beratraksi seperti ini, perlu latihan lama. Saya sendiri masih belajar saya sudah menghabiskan 4 motor dan sering mengalami cedera tangan atau kaki,” kata Hengki yang mengaku memulai hobinya ini sejak empat tahun lalu. Kepiawaian Hengki dan rekan-rekannya beratraksi di atas sepeda motor sore itu, ternyata bisa membuat ratusan orang berkumpul untuk melihatnya. Bahkan mereka sudah menuai prestasi karena keahliannya. “Kami terkadang juga kerap dapat panggilan untuk mengisi acara di beberapa tempat. Kami juga sudah mengikuti event freestyle, yang terakhir kami juara 1 di Pekanbaru,” ujar Hengki Bangga.
Nanda, Salah seorang pengunjung yang kebetulan hanya lewat dan ingin berbuka di sana, mengaku senang dengan atraksi yang disuguhkan, walau harus memacetkan jalan. “Mereka sungguh menghibur dan menyenangkan bisa menyaksikan penampilan seperti ini sambil menunggu berbuka puasa, sangat baik kalau mereka disediakan tempat seperti ini, apalagi kalau tempatnya lebih besar lagi,” ungkap ibu asal Padang Panjang ini.
Bobi, pemuda yang tinggal di kawasan itu mengatakan bahwa hampir setiap sore 387Xtreme main di lokasi itu. “Mereka sudah lama main disini, asal tidak hujan mereka akan atraksi, dan itu menjadi hiburan bagi kami, apalagi saat puasa, menjadikan ngabuburit lebih asyik deh.” Ungkap pemuda 16 tahun ini.
Peran Forkem
Semua itu ternyata tak lepas dari campur tangan Forum kreatifitas Muda Payakumbuh dan Limapuluh Kota (FORKEM). Forkem adalah organisasi yang bersekre di kawasan Ngalau Indah Payakumbuh. Mereka melihat potensi yang ada pada anak-anak 387Xtreme Payakumbuh ini. Organisasi yang memang mewadahi kegiatan kreatif anak muda Payakumbuh dan Limapuluh Kota ini pun mewadahi 387Xtreme. Berawal dari jalanan, selanjutnya Forkem mengusahakan agar anak-anak muda bisa latihan dan memanfaatkan pelataran parkir Ngalau Indah untuk atraksi. Anak-anak muda ini juga diikutkan event, dilibatkan pada acara-acara keramaian dan kegiatan otomotif, sehingga akhirnya komunitas ini terkenal seperti sekarang ini. “Dulu kami hanya atraksi di jalan-jalan kampung, semenjak digaet Forkem, kami lebih terarah dan bisa maju seperti sekarang ini,” ujar Hengki. (hijrah Adi Sukrial)

Potret “Tukang Foto” di Jam Gadang


Siang itu matahari menyengat diantara sejuknya udara kota Bukittinggi. Jam gadang, sebagai icon kota Bukittinggi sedang ramai dikunjungi wisatawan local dan mancanegara. Semua sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Ada yang bermain bersama anaknya, ada yang sedang memadu kasih, ada yang sibuk berpose dengan kamera digital dan handphone kameranya.
Diantara keramaian tersebut ada seorang bapak yang duduk terpana memandang kegiatan orang-orang tersebut. Di lehernya tergantung dua buah kamera lama, sementara dipinggangnya terdapat sebuah kamera keluaran terbaru. Sebuah Tas kulit yang berisi peralatan fotografi disandangnya. Rambut sang bapak telah memutih, dengan hidung yang mancung dan perawakan yang tinggi. Masih tampak sisa-sisa kegagahan dirinya di masa muda.
Mon, namanya, profesinya adalah fotografer pariwisata. Dari tahun 1974 dia menekuni profesi tersebut. Mulai dari kamera paling kuno, sampai paling modern telah dia pakai untuk memotret orang yang ingin mengabadikan kenangan di Jam Gadang. Sampai sekarang dia masih setia dengan profesinya.
Pria kelahiran 3 Juli 1952 ini telah mengalami manis pahitnya dunia Fotografer Pariwisata. Sambil memandang Jam Gadang dia bercerita pada Padang Ekspres. “Dulu kami disini ada 7 orang, semuanya mendapat rezeki, dalam satu hari itu minimal 10 petik bisa kami dapatkan satu hari. Satu petik pertama telah bisa untuk membeli satu rol film, sebungkus nasi dan sebungkus rokok, sisanya dibawa pulang untuk anak istri,”ungkap Mon.
Lanjut Mon, “kala itu satu rol film hanya 150 rupiah, sementara jasa sekali foto adalah 350 ribu rupiah, dalam kemajuan usaha saat itu saya mampu menghidupi 3 orang istri dan 9 orang anak, padahal saya mengontrak 3 rumah untuk 3 istri tersebut,” ungkap lelaki asal Jambak Sianok ini. Kala itu sampai akhir 1990-an jasa Mon memang sangat dibutuhkan dan dimanfaatkan banyak orang. Masa itu dunia fotografi benar-benar menuntut keahlian “tukang foto”.
Seiring berkembangnya teknologi, profesi fotografer pariwisata semakin meredup. Jika dulu semua serba manual dan membutuhkan keahlian dalam pengambilan gambar. Semenjak era digital, semuanya serba otomatis, membuat semua orang bisa mengambil foto dengan camera digital atau kamera handphonenya. Sekali jepret hasil bisa dilihat, kalau kurang bagus bisa diulang lagi, bahkan hasilnya bisa diedit dengan komputer.
Perkembangan teknologi memang mendatangkan manfaat yang besar bagi kemajuan dalam semuya aspek kehidupan. Pada satu sisi, perkembangan dunia iptek yang demikian mengagumkan itu memang telah membawa manfaat yang luar biasa bagi kemajuan peradaban umat manusia. Jenis-jenis pekerjaan yang sebelumnya menuntut kemampuan fisik yang cukup besar, kini relatif sudah bisa digantikan oleh perangkat mesin-mesin otomatis. Demikian juga ditemukannya formulasi-formulasi baru kapasitas komputer, seolah sudah mampu menggeser posisi kemampuan otak manusia dalam berbagai bidang ilmu dan aktivitas manusia. Kemajuan iptek benar-benar telah diakui dan dirasakan memberikan banyak kemudahan dan kenyamanan bagi kehidupan manusia. Namun Mon dan kawan-kawan sesame fotografer Pariwisata secara tidak langsung telah terkena imbas dari kemajuan iptek.
Akibat kemajuan teknologi penghasilan Mon jauh menurun. Jika dulu satu hari minimal dia bisa memotret sebanyak 10 petik, sekarang bisa-bisa dalam seminggu dia tidak “pecah telur” (tidak mendapatkan pelanggan). Jika dulu fotografer ada 7 orang di kawasan Jam Gadang, sekarang sedah banyak yang banting stir ke usaha lain, dan meninggalkan 3 orang yang masih menggeluti profesi lamanya ini. “Dulu semua tukang foto yang ada disini mendapatkan rezeki yang cukup, jika tujuh orang bekerja, semuanya membawa pulang uang yang cukup untuk anak dan istri, seiring meredupnya usaha jasa kami ini, kawan-kawan banyak yang pindah ke usaha lain,” ungkap lelaki tamatan PGA ini.
Lalu apa usaha Mon untuk mengatasi kebutuhan hidup, saat dunia fotografi sudah tidak lalgi mampu menghasilkan uang untuk mencukupi biaya hidup? Sebagai laki-laki Minang yang hidup di kampung dan rantau, Mon memiliki banyak kepandaian. Di usianya yang mulai senja ternyata Mon telah memiliki banyak tabungan, dunia fotografi telah membuat Mon mampu untuk memberikan modal pada masing-masing istrinya. Semua istri dan anak Mon sekarang sudah memiliki usaha sendiri. Istrinya sudah memiliki konveksi dan toko pakaian, anak-anakpun telah memutuskan untuk menjadi wiraswastawan daripada menjadi fotografer. Hanya anak yang paling kecil yang mengikuti jejak sang ayah, itupun hanya untuk hobi, bukan profesi.
Walaupun sudah memiliki usaha Mon tetap tidak mau meninggalkan dunia yang telah membesarkannya. Mon tetap datang ke Jam Gadang, walaupun tidak ada lagi yang membutuhkan jasanya. “Disinilah hidup saya, disini dunia saya, saya tidak akan meninggalkannya,” cerita Mon. Untuk memenuhi kebutuhan pribadi Mon sekarang menjadi montir elektronik. Mon bisa memperbaiki barang elektronik dan kamera, kemampuan itu didapatnya secara otodidak. Kadang Mon juga menjadi fotografer pada acara “baralek” dan acara-acara lainnya.
Mon sudah terlanjur cinta pada dunia fotografer dan tidak ingin meninggalkannya, lalu adakah usaha Mon agar usaha fotografer Pariwisata bisa bertahan dan berkembang lagi? Menurut Mon tidak ada usaha yang bisa dilakukan agar usaha fotografer pariwisata bisa berkembang dan bertahan. “Usaha ini hanya menanti kepunahan saja, tidak ada yang bisa dilakukan untuk mempertahankannya. Semua orang sudah memiliki kamera, sekarang anak SD saja bisa memotret, jadi kami memang sudah tidak punya harapan,” ceritanya. Lanjut Mon lagi, “mau dikembangkan seperti apa lagi, kami hanya bisa memotret, jika sekarang kami bertahan, itu hanya untuk bernostalgia, terlalu sayang berpisah dengan tempat yang kami kunjungi setiap hari selama puluhan tahun. Tidak bisa rasanya hidup tanpa memegang kamera dan melihat Jam Gadang,” ungkap Mon sambil menghisap rokoknya dalam-dalam.
Mon tidak mengharapkan apa-apa lagi dari dunia fotografi. Dia hanya ingin menghabiskan sisa umurnya dengan berladang dan beternak agar tetap sehat. Itu dilakoninya pada pagi hari, selanjutnya dia akan ke Jam Gadang, bertemu dengan orang-orang berbeda yang menikmati keindahan Bukittinggi dan bertemu dengan teman-teman sesama fotografer dan teman-teman yang berjualan di Jam Gadang. Jika ada yang membutuhkan jasanya untuk foto acara maupun service elektronik, dia kan meninggalkan Jam Gadang dan akan segera kembali saat pekerjaannya telah selesai.
Ya, Mon selalu setia pada Jam Gadang dengan kamera tergantung di leher, tas kulitnya dan senyumnya yang khas menawarkan jasa pada wisatawan yang menghabiskan harinya di Jam Gadang.(Hijrah.A.S)
NB: Sudah Diterbitkan Di Harian Pagi Padang Ekspres

Fahira Fahmi Idris Kuliahi Mahasiswa Unand

Padang,Padek—Barang boleh sama, namun pelayanan harus berbeda, dan tentu saja harus lebih unik dan menarik dari pada barang orang lain, itulah salah satu kita usaha yang diberikan oleh Fahira Fahmi Idris ketika memberikan kuliah umum kewirausahaan di gedung PKM Unand. Ratusan mahasiswa Unand hadir dalam acara yang digelar kemarin sore tersebut (12/11).
Dalam acara tersebut putri pengusaha Fahmi Idris ini memberikan tips-tips, langkah-langkah dan motivasi dalam berwirausaha. Ada beberapa nilai yang diajarkan Fahira agar mahaiswa sukses dalam berusaha, diantaranya selalu menciptakan sesuatu yang baru, atau inovatif, selalu bersemangat, dan berani dalam memulai usaha. Walaupun begitu tetap harus berhati-hati.
Fahira juga menceritakan pengalamannya dalam memulai usaha. Walaupun putri seorang pengusaha, dia tidak bergantung dari sang ayah, namun berani memulai usaha sendiri, seperti parsel, florist, dan lain-lain. Menurutnya hal sekecil apapun bisa jadi peluang usaha kalau kita sensitive dalam memlihat situasi. Masalah motivasi, mahasiswa dihimbau untuk bisa memotivasi diri sendiri, tanpa mengharapkan orang lain.
Secara teknis, agar usaha bisa sukses dan bisa mendapatkan rekanan yang baik, diperlukan proposal usaha yang menarik dan jelas.
Dalam berwirausaha ada beberapa hal yang harus diperhatikan, seperti pengalamannya, Fahira mengaku harus mendahulukan kepentingan konsumen. Dengan menjadikan konsumen raja akan membuat konsumen tersebut loyal. Apalagi kalau produk yang kita jual atau tawarkan bisa kita buat lebih unik dan menarik dari yang lain. “Barang yang kita jual boleh sama, namun pelayanan kita harus lebih. Barang juga harus lebih menarik dan unik,”ujar pengusaha cantik ini.
Mahasiswa berkesempatan untuk tanya jawab dengan Fahira, semua pertanyaan dijawab dengan lugas dan jelas. bagi mahasiswa yang bertanya diberi hadiah berupa keanggotaan Saudagar Muda Minang. Bahkan 3 penanya terbaik mendapatkan buku yang ditandatangani oleh mahasiswa. Mahasiswa terlihat antusias mendengar pengalaman Fahira, terbukti semua bangku terisi penuh, mahasiswa juga mengikuti acara dari awal hingga akhir. Salah seorang mahasiswa yang enggan disebutkan namanya mengaku senang bisa mengikuti acara ini. “Dengan mendengar pengalaman orang-orang sukses, setidaknya kan jadi motivasi bagi kita, apalagi uni Fahira adalah pengusaha muda, yang energik dan cantik, walaupun begitu dia tidak sombong,”ujarnya.
Di akhir acara Fahira menerima cinderamata dari rektor Unand. Fahira juga menyempatkan diri berfoto dengan mahasiswa dan dosen yang hadir.
Rektor Unand, Musliar Kasim, mengatakan semenjak adanya acara ini terbukti telah melahirkan banyak mahasiswa wirausaha di Unand. Karena selain kuliah umum, kampus juga memberikan pelatihan dan bimbingan wirausaha. “Mudah-mudahan acara ini membawa dampak baik bagi mahasiswa, sehingga bisa menciptakan lapangan kerja tanpa harus berharap jadi PNS,” ujarnya.
Sedangkan Fahira Fahmi Idris ketika ditemui usai acara mengatakan sangat senang dengan adanya acara ini. Dia melihat animo mahasiswa untuk berwira usaha sangat tinggi, terbukti dengan banyaknya yang hadir dalam kuliah umum wirausaha ini. Fahira berharap agar pihak kampus bisa memfasilitasi minat mahasiswa agar dapat wadah dengan memberikan ruang untuk melakukan bazaar dan pameran produk usaha mahasiswa itu. “Akan lebih baik lagi minat ini disalurkan dalam bentuk acara seperti bazar atau pameran, setidaknya mahasiswa punya tempat praktek ilmu dan ide mereka,”ujar pengusaha muda ini.
Sudah diterbitkan di Harian Pagi Padang Ekspres

Suka duka Warga Pesisir Pantai

(Tiap tahun dihantam ombak, sekarang dihantui tsunami)
Malang benar nasib warga yang tinggal di kawasan pantai. Saat cuaca cerah, mereka meraup untung, hidup dari laut dan bersahabat dengan laut. Saat cuaca buruk, laut seakan menuntut balas dari mereka, harta yang selama ini dikumpulkan dari hasil laut, habis direnggut ombak.
Laporan yang sampai ke kantor lurah, 32 bangunan hancur dihantam ombak. Diantaranya gudang ikan, rumah warga, dan warung-warung yang berjejer sepanjang Pasie Nan Tigo. Bahkan dua jembatan pun ambruk karena abrasi. Laut sudah semakin luas, sekarang tidak ada lagi pantai, yang ada hanyalah air laut yang berbatasan langsung dengan badan jalan. Tiang listrik yang terletak dipinggir jalan juga sudah tumbang dihantam ombak.
Saat Padang Ekspres berkunjung ke sana, tidak banyak aktivitas yang terlihat. Warga hanya duduk-duduk di teras rumah dan warung-warung. Cuaca telah memaksa mereka untuk diam di rumah. Memang sepertiga dari warga Pasie Nan Tigo berprofesi sebagai nelayan. Total 1450 kepala keluarga yang tercatat sebagai nelayan. Untuk mencari rezeki mereka tergantung pada cuaca.
Saat cuaca buruk seperti sekarang, warga tidak bisa berbuat apa-apa, bahkan saat ombak menghantam dinding rumah dan warung mereka. Memang tidak ada yang bisa menghentikan ombak. Sementara puluhan rumah lainnya seakan untuk menunggu waktu hanyut atau terseret ombak besar yang selalu datang saat bulan terang (purnama).
Salah seorang ninik mamak suku Sikumbang, Mak Wan, 58, mengatakan, saat cuaca buruk seperti ini, kita bisa cari anak yang tidak belanja, dapur yang tidak mengepul asapnya, dan di warung-warung yang ada hanyalah orang datang untuk berhutang. Toke-toke kapal juga jadi sasaran untuk berhutang oleh anak-anak buah kapal dan warga yang menggantungkan hidupnya dari laut.
Perkataan Mak Wan dibenarkan oleh Taufik, 52, seorang nelayan yang tinggal di kawasan Pasie Nan Tigo. Semenjak 2 hari sebelum tsunami melanda mentawai dia sudah tidak bisa melaut. Sementara dia menghidupi istri dan 8 anaknya hanya dari melaut. Biduk kecil sebagai alat pencari rezeki baginya hanya parkir di pantai. Menurutnya, jangankan cuaca buruk seperti ini, saat hari bersahabat saja dia susah mencari penghasilan berlebih. 6 anaknya terpaksa mengikuti jejaknya untuk melaut. “Tinggal dua anak saya yang sekolah, yang lainnya sudah mengikuti jejak saya melaut. Saya tak punya daya untuk menyekolahkan mereka,” ujarnya saat ditemui sedang memperbaiki jala yang akan dipakainya untuk mencari ikan saat cuaca sudah mendukung. Menurut Taufik, untuk bertahan hidup saat cuaca buruk, sehari-hari dia biasanya berutang pada pedagang yang berjualan di Pasar Pagi di dekat kantor lurah Pasie Nan Tigo. Saat cuaca cerah dia mengangsur utangnya. Ambil satu bayar satu istilahnya.
Lain lagi dengan Afriyani, wanita 4 anak yang tinggal di tepi pantai ini ketakutan saat Padang Ekspres berkunjung ke rumahnya. Dia berpikir yang datang adalah juragan kapal menagih hutang. Separuh rumahnya sudah tertimbun pasir. Untuk masuk ke rumahnya kita harus merunduk, karena lebih tinggi kita dari pada pintunya. Di dalam rumahnya dipenuhi pasir, bahkan dia sempat menunjukkan dibawah tempat tidur dan lemarinya yang dipenuhi pasir. Pasir itu selalu dibawa ombak saat cuaca buruk. Didalam rumahnya ada parit yang gunanya untuk tempat mengalirkan air saat ombak pasang dan air memasuki rumahnya. Di samping rumahnya ada tempat perebusan dan penjemuran ikan yang sudah ambruk dilibas ombak. Dia mengaku tidak kuasa untuk memperbaikinya karena tidak punya dana.
Bertahun-tahun Afriyani hidup dari laut, jika cuaca normal dan ada rezeki dia bisa berpenghasilan Rp. 50 ribu sehari, namun kadang harus tekor dan berhutang. Semenjak cuaca buruk dia sudah berhutang hampir 2 juta.
Sehari-hari Afriyani kerjanya mengolah ikan jadi ikan kering. Saat pagi datang dia pergi mengejar ikan yang datang dengan kapal, berbasah-basah dan berkejaran, bersaing dengan laki-laki yang tentu saja lebih gesit dan kuat darinya. Dia berdua dengan suaminya Riswandi. Mereka kemudian membelinya Rp. 300 ribu sekeranjang. Selanjutnya ikan tersebut direbus dan dijemurnya. Selanjutnya ia menjual ke kawasan Pasar Raya dengan harga Rp. 340 ribu sekeranjang. Dia bisa memperoleh untung Rp. 10-15 ribu sekeranjang. Jika harga ikan sedang murah, toke hanya menghargai sebesar Rp. 280 ribu sekeranjang. Terpaksa dia menambal kekurangannya.
Semenjak cuaca buruk, tidak ada sepeserpun uang yang dihasilkannya, sementara dapur harus terus mengepul dan anak-anak harus sekolah, tentu saja mereka membutuhkan ongkos.
Suaminya yang berasal dari Lubuk Minturun terpaksa “pulang kampung”, untuk mencari penghasilan tambahan di tanah keluarganya. Namun seakan tidak berbeda, cuaca juga menghukumnya, sehingga tidak bisa bekerja mengolah tanah. Riswandi terpaksa meminjam duit orang tuanya untuk membiayai istrinya. “tidak ada sepeserpun uang yang saya hasilkan, suami saya juga sudah berusaha, namun beginilah nasib kami yang bergantung hidup dari alam, hujan membuat kami tidak bisa berbuat apa-apa,”ujarnya.
Afriyani seakan menunggu waktu sampai pasir akan menimbun rumahnya sepenuhnya. Dia tidak pernah melaporkan hal ini ke kelurahan. Dia mengaku tidak tahu bagaimana caranya, dan lurah pun tidak pernah meninjau keadaan mereka yang hampir tertimbun pasir tersebut.
Cuaca mulai cerah kembali, nelayan mulai bersiap-siap melaut. Terlihat pemuda yang kekar-kekar mengangkat perlengkapan ke biduk untuk diantar ke kapal besar yang parkir agak jauh ke tengah. Mereka membawa beras, air mineral, cabe, dan semua kebutuhan lain yang diperlukan. Menurut Abu Nawir, 58, semua itu dihutang dan akan dibayar setelah pulang dari laut. Itupun kalau dapat ikan dan alam tidak kembali “marah” sore harinya. Harapan mereka tidak pernah pudar, cinta mereka pada profesinya juga tidak pernah berubah, kita tidak tahu apakah betul-betul cinta atau tidak ada pilihan lain.
Besoknya setelah pulang dari laut mereka belum juga dinaungi keberuntungan. Ikan hanya sedikit yang masuk dalam perangkap mereka, biasanya dapat sampai 10 keranjang, sekarang hanya 1 atau 2 keranjang, ujar salah seorang warga. Yang lebih malangnya lagi, ikan yang hanya 1 dan 2 keranjang tersebut tidak bisa mereka olah lagi. Tempat merebus, menjemur dan menyimpan ikan telah hilang diseret ombak. “Kami tapaso manjamua di halaman rumah, pantai indak ado lai, kami iyo berharap bana disiko dipasang batu,” ujar salah seorang nelayan sambil menatap ke bangunan gudang ikannya yang telah hancur.
“Kok takuik dilamun ombak jan barumah di tapi pantai”, tampaknya penggalan lirik lagu ini sangat pas untuk warga Pasie Nan Tigo. Namun mereka nampaknya memang tidak pernah takut. Dari puluhan tahun yang lalu mereka hidup dari laut, bergantung dari cuaca, mereka bertahan walau terkadang laut murka terhadap mereka.
Sudah Terbit di Harian Pagi Padang Ekspres

Mengintip Makanan Calon Jamaah Haji


Sudah Diterbitkan di Harian pagi Padang Ekspres
Makanan dan Petugas Diperiksa Tim Kesehatan Sebelum dibawa ke Asrama Haji
Rendang Padang dan Beras Solok dipuji jamaah luar Sumbar
Malam itu, Asrama Haji Padang sedang ramai. Ratusan Calon Jamaah Haji (CJH) baru saja menunaikan shalat Maghrib berjamaah, setelahnya para tamu Allah ini sibuk dengan kegiatan masing-masing. Sebagian besar Cjh memilih untuk mengisi perut yang sudah mulai keroncongan. Padang Ekspres mengikuti perjalanan CJH hingga ke meja makan. Di ruangan makan yang luas dan tertata dengan rapi itu CJH haji dilayani oleh petugas catering. Jamaah yang datang dari Payakumbuh, sawahlunto dan Padang ini makan sambil bercengkerama dengan rekan-rekannya. Walaupun masih di Padang, tas paspor dan dokumen tidak lepas dari sandangan mereka. Di sisi lain, sebelum dan sesudah makan CJH menyempatkan diri berbelanja keperluan di tanah suci seperti mukena, baju muslim, dan makanan yang tahan lama seperti rendang. Di sisi lain ada juga yang memperbaiki tas dokumennya, membeli tali rajut, rantai kacamata dan gembok.
Sebelumnya Padang Ekspres berkesempatan berbincang dengan satu rombongan dari Payakumbuh yang sedang makan bersama. Mereka termasuk rombongan terakhir yang makan. Saat bergabung mereka tinggal berlima. Ada yang sudah selesai makan dan sedang menghisap rokok. Mereka mengaku senang dengan pelayanan Panitia di asrama haji Padang. Edi Pata (58) salah satu CJH asal kota Batiah ini mengaku sangat puas dengan pelayanan catering di Asrama haji. Ceritanya, CJH asal Payakumbuh sampai di Asrama Haji Padang pada pukul 13.30 Wib, beberapa menit kemudian, CJH sudah disuguhkan snack berupa bubur kacang hijau. Saat malam datang, sesudah shalat Maghrib jamaah sudah diperbolehkan mencicipi makan malam. Nasi dan Sambal disediakan secara prasmanan. CJH boleh ambil dan pilih sendiri, boleh juga minta tolong pada petugas catering. Untuk makan, CJH bisa makan di meja makan atau di lesehan yang disiapkan oleh panitia.  
Setelah jamaah selesai makan, petugas dengan sigap membersihkan ruangan tersebut, mencuci piring, menyapu, dan membersihkan meja. Sementara di meja masih banyak makanan yang tersisa.
Setelah selesai bekerja, beberapa pegawai catering duduk bersama-sama. Dengan baju batik, celana dasar, mereka terlihat rapi bak pegawai hotel. Koran inipun berkesempatan ngobrol dan berbicara mengenai pekerjaan mereka. 
Putra,22, menyampaikan sebelum sampai di Asrama Haji, masakan ini semuanya dimasak di Siteba, dengan pengawasan ketat oleh tim kesehatan.  “Apa yang dimasak dan banyaknya masakan ditentukan oleh PPIH, kami hanya mengerjakan. Biasanya setiap hari masakan selalu berganti-ganti,”ujarnya.
Dia mengungkapkan kebahagiaannya apabila bertugas di Asrama haji, menurutnya dia ikut berbangga jadi petugas yang melayani kebutuhan calon jamaah haji ini. “Rasanya berbahagia menyaksikan para CJH makan, usia mereka yang tua dan semangat yang tinggi untuk berhaji sering menjadi inspirasi untuk semangat bekerja. Saya jadi ikhlas menghadapinya dan memperlakukan mereka seperti orangtua sendiri,”ujarnya.
Ternyata bukan hanya masakan yang diperiksa tim kesehatan, namun bagian kesehatan juga memeriksa kebersihan, kesehatan petugas pegawai catering juga diperiksa. “Sebelum bertugas di Asrama haji, kami semua diperiksa. Jika ada yang dianggap sakit atau terinfeksi penyakit tertentu maka tidak akan diizinkan bertugas melayani jamaah haji,” ujar Ari, 23, salah satu pegawai catering.
Dalam menghadapi jamaah umumnya para pegawai telah berpengalaman dari tahun ke tahun. Banyak cerita mereka tentang kesan yang di dapat dari jamaah. Adakalanya jamaah yang memilih-milih menu, tergantung dari asal mereka. “Biasanya jamaah asal daerah lain akan memuji rendang Padang dan dan terpesona oleh enaknya masakan Padang,”ujar Putra. Saat makan jamaah juga sering bertanya beras yang dimasak, pegawai akan menjelaskan tentang beras Solok. Ternyata jamaah sangat suka dengan beras yang terkenal ini. (mg24)