Laman

Senin, 29 November 2010

Kisah Penjaja Sapu Lidi di Jalanan Kota Padang

Kalau Sapu Tidak Habis Tidak Pulang Ke Rumah

Saat anak-anak sebaya mereka sedang belajar di sekolah, segerombolan anak-anak ini malah berkeliaran di lampu merah dan persimpangan. Mengharapkan uang yang tak pasti mereka datang ke Padang untuk menjual sapu lidi. Bagaimana kisahnya?
Laporan Hijrah.A.S
“Sapu sapu sapu, pak sapu pak”. Jika kita berhenti atau melintas di lampu merah simpang Padang Baru yang menghubungkan antara Jalan Khatib Sulaiman dan Rasuna Said, maka kita akan dengar dan saksikan anak-anak kecil menjajakan sapunya seperti kalimat diatas.
Mereka masih sangat kecil-kecil, bahkan kepalanya saja belum sampai ke jendela mobil. Tak jarang mereka harus jinjit agar kelihatan oleh pemilik mobil. Umurnya berkisar dari 9-16 tahun, sekolahnya dari kelas dua SD sampai SMP.
Salah seorang dari mereka bernama Iqbal, umurnya baru 14 tahun, sekarang dia duduk di kelas 5 SDN 04 Kurai Taji. Menurutnya hampir semua penjaja sapu lidi di simpang jalan dan komplek-komplek berasal dari Pariaman. Ada yang berasal dari Ulakan, dari Kurai Taji, Pauh Kambar. Iqbal sendiri berasal dari Kurai taji. Ayahnya seorang buruh pembuat batu bata, sedangkan ibunya hanya seorang ibu rumah tangga. Iqbal merasa perlu turun tangan untuk menambah belanjanya, sehingga dia ikut-ikutan temannya pergi menjajakan sapu lidi ke kota Padang.
Jam 4 subuh mereka sudah bangun dan mengambil sapu lidi di kawasan Kurai Taji. Mereka membawa sesuai kemampuan mereka. Ada yang membawa 10 buah, kalau kuat bisa bawa sampai 20 buah. Modal satu sapu lidi Rp. 3 ribu, lalu mereka jual Rp 5 ribu. Jika terjual semuanya maka bisa untung Rp 20 ribu, namun harus keluarkan ongkos bus pulang pergi Rp 10 ribu dan makan. Biasanya sisa Rp 5 ribu. Namun bisa lebih kalau ada orang yang kasihan dan kasih mereka duit walau tidak membeli sapu mereka. Jika sapu tidak habis Iqbal dan kawan-kawannya tidak pulang dan memilih tidur di Padang. “Baa ka pulang, sapu ndak abih do, tu ado baban lo pulang, pitih ndak dapek do,”ujarnya. Biasanya mereka tidur di Pom bensin di Simpang Padang Baru itu. Saat padang Ekspres berbincang dengannya pada jam 11 siang, belum ada satupun sapu lidi Iqbal yang terjual, dia dan temannya sepakat untuk pergi berjaja keliling kampong, karena di simpang lampu merah tersebut sangat ramai penjaja sapu lidi, mereka berkumpul di sebrang pos Polisi sekitar 15 orang. Saat lampu merah, mereka berebut untuk menawarkan sapunya. Tidak hanya dengan sesame penjaja sapu lidi, namun juga dengan pengemis dan pedagang asongan lainnya.
Sedangkan Riko, 11, asal Ulakan siang itu sapunya sudah habis terjual. Katanya dia tadi menjajakannya sampai ke Seberang Palinggam. Dia tidak langsung pulang, dia nongkrong di simpang itu menunggu abangnya yang juga berjualan sapi lidi. “Sabananyo sapu lidi uda awak tadi lah abih, tapi nyo ibo mancaliak punyo kawan yang alun tajua, tu dibalinyo punyo kawan tu,”ujarnya polos.
Riko termasuk salah satu anak yang ramah dan santun diantara rombongan penjual sapu lidi ini. Dia masih bisa bicara hormat pada orang yang lebih besar. Sementara teman-temannya tidak lagi bisa membedakan mana kawan sebaya dan mana yang orang dewasa. Mungkin karena sudah tidak memperdulikan pendidikan lagi, atau memang terdidik untuk mencari uang, atau juga karena factor hidup di jalanan, mereka jadi lupa tentang pentingnya sopan santun dan keramahan. Pada Padang Ekspres yang berbincang dengan temannya, mereka tidak segan-segan meminta uang, dan berbicara seenaknya, bahkan berani mengancam melarang temannya berbicara kalau tidak memberi uang.
Namun Riko nampaknya tidak terpengaruh. Menurut Riko hari ini dia tidak sekolah karena Hari Guru. Biasanya dia hanya berjualan sapu pada hari Minggu dan tanggal merah.
Sedangkan Anto, masih berumur 10 tahun. Dia juga berasal dari Kurai taji. Ayahnya juga buruh pembuat batu bata. Sekarang Anto masih kelas 2 SD. Katanya dia sudah dua kali tinggal kelas.
Menurut mereka, orangtua mereka tidak melarang mereka pergi meninggalkan kampong halamannya untuk mencari uang Rp 5 – 10 ribu tersebut. Mereka juga tidak merasa terbebani karena pergi bersama-sama. Hanya untuk uang sebanyak itu mereka harus menantang maut, meninggalkan orangtua dan berjaja sepanjang kota Padang.
Namun nampaknya hal ini tidak mendidik mereka. Sepertinya orientasi anak-anak yang masih berseragam merah putih ini hanya uang. Tidak ada arahan dan bimbingan dari pihak manapun. Kita tidak tahu seperti apa orang tua mereka. Kita juga tidak tahu bagaimana pemerintah menilai hal ini. Apakah tidak ada pejabat yang lewat di jalan protocol ini dan menyaksikan anak usia sekolah SD menjajakan sapu lidi di jam sekolah? Mau jadi apa mereka nanti kalau ternyata jalanan mendidik mereka hanya untuk mencari uang dan kehilangan sopan santun karenanya?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar