Laman

Jumat, 12 November 2010

Potret “Tukang Foto” di Jam Gadang


Siang itu matahari menyengat diantara sejuknya udara kota Bukittinggi. Jam gadang, sebagai icon kota Bukittinggi sedang ramai dikunjungi wisatawan local dan mancanegara. Semua sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Ada yang bermain bersama anaknya, ada yang sedang memadu kasih, ada yang sibuk berpose dengan kamera digital dan handphone kameranya.
Diantara keramaian tersebut ada seorang bapak yang duduk terpana memandang kegiatan orang-orang tersebut. Di lehernya tergantung dua buah kamera lama, sementara dipinggangnya terdapat sebuah kamera keluaran terbaru. Sebuah Tas kulit yang berisi peralatan fotografi disandangnya. Rambut sang bapak telah memutih, dengan hidung yang mancung dan perawakan yang tinggi. Masih tampak sisa-sisa kegagahan dirinya di masa muda.
Mon, namanya, profesinya adalah fotografer pariwisata. Dari tahun 1974 dia menekuni profesi tersebut. Mulai dari kamera paling kuno, sampai paling modern telah dia pakai untuk memotret orang yang ingin mengabadikan kenangan di Jam Gadang. Sampai sekarang dia masih setia dengan profesinya.
Pria kelahiran 3 Juli 1952 ini telah mengalami manis pahitnya dunia Fotografer Pariwisata. Sambil memandang Jam Gadang dia bercerita pada Padang Ekspres. “Dulu kami disini ada 7 orang, semuanya mendapat rezeki, dalam satu hari itu minimal 10 petik bisa kami dapatkan satu hari. Satu petik pertama telah bisa untuk membeli satu rol film, sebungkus nasi dan sebungkus rokok, sisanya dibawa pulang untuk anak istri,”ungkap Mon.
Lanjut Mon, “kala itu satu rol film hanya 150 rupiah, sementara jasa sekali foto adalah 350 ribu rupiah, dalam kemajuan usaha saat itu saya mampu menghidupi 3 orang istri dan 9 orang anak, padahal saya mengontrak 3 rumah untuk 3 istri tersebut,” ungkap lelaki asal Jambak Sianok ini. Kala itu sampai akhir 1990-an jasa Mon memang sangat dibutuhkan dan dimanfaatkan banyak orang. Masa itu dunia fotografi benar-benar menuntut keahlian “tukang foto”.
Seiring berkembangnya teknologi, profesi fotografer pariwisata semakin meredup. Jika dulu semua serba manual dan membutuhkan keahlian dalam pengambilan gambar. Semenjak era digital, semuanya serba otomatis, membuat semua orang bisa mengambil foto dengan camera digital atau kamera handphonenya. Sekali jepret hasil bisa dilihat, kalau kurang bagus bisa diulang lagi, bahkan hasilnya bisa diedit dengan komputer.
Perkembangan teknologi memang mendatangkan manfaat yang besar bagi kemajuan dalam semuya aspek kehidupan. Pada satu sisi, perkembangan dunia iptek yang demikian mengagumkan itu memang telah membawa manfaat yang luar biasa bagi kemajuan peradaban umat manusia. Jenis-jenis pekerjaan yang sebelumnya menuntut kemampuan fisik yang cukup besar, kini relatif sudah bisa digantikan oleh perangkat mesin-mesin otomatis. Demikian juga ditemukannya formulasi-formulasi baru kapasitas komputer, seolah sudah mampu menggeser posisi kemampuan otak manusia dalam berbagai bidang ilmu dan aktivitas manusia. Kemajuan iptek benar-benar telah diakui dan dirasakan memberikan banyak kemudahan dan kenyamanan bagi kehidupan manusia. Namun Mon dan kawan-kawan sesame fotografer Pariwisata secara tidak langsung telah terkena imbas dari kemajuan iptek.
Akibat kemajuan teknologi penghasilan Mon jauh menurun. Jika dulu satu hari minimal dia bisa memotret sebanyak 10 petik, sekarang bisa-bisa dalam seminggu dia tidak “pecah telur” (tidak mendapatkan pelanggan). Jika dulu fotografer ada 7 orang di kawasan Jam Gadang, sekarang sedah banyak yang banting stir ke usaha lain, dan meninggalkan 3 orang yang masih menggeluti profesi lamanya ini. “Dulu semua tukang foto yang ada disini mendapatkan rezeki yang cukup, jika tujuh orang bekerja, semuanya membawa pulang uang yang cukup untuk anak dan istri, seiring meredupnya usaha jasa kami ini, kawan-kawan banyak yang pindah ke usaha lain,” ungkap lelaki tamatan PGA ini.
Lalu apa usaha Mon untuk mengatasi kebutuhan hidup, saat dunia fotografi sudah tidak lalgi mampu menghasilkan uang untuk mencukupi biaya hidup? Sebagai laki-laki Minang yang hidup di kampung dan rantau, Mon memiliki banyak kepandaian. Di usianya yang mulai senja ternyata Mon telah memiliki banyak tabungan, dunia fotografi telah membuat Mon mampu untuk memberikan modal pada masing-masing istrinya. Semua istri dan anak Mon sekarang sudah memiliki usaha sendiri. Istrinya sudah memiliki konveksi dan toko pakaian, anak-anakpun telah memutuskan untuk menjadi wiraswastawan daripada menjadi fotografer. Hanya anak yang paling kecil yang mengikuti jejak sang ayah, itupun hanya untuk hobi, bukan profesi.
Walaupun sudah memiliki usaha Mon tetap tidak mau meninggalkan dunia yang telah membesarkannya. Mon tetap datang ke Jam Gadang, walaupun tidak ada lagi yang membutuhkan jasanya. “Disinilah hidup saya, disini dunia saya, saya tidak akan meninggalkannya,” cerita Mon. Untuk memenuhi kebutuhan pribadi Mon sekarang menjadi montir elektronik. Mon bisa memperbaiki barang elektronik dan kamera, kemampuan itu didapatnya secara otodidak. Kadang Mon juga menjadi fotografer pada acara “baralek” dan acara-acara lainnya.
Mon sudah terlanjur cinta pada dunia fotografer dan tidak ingin meninggalkannya, lalu adakah usaha Mon agar usaha fotografer Pariwisata bisa bertahan dan berkembang lagi? Menurut Mon tidak ada usaha yang bisa dilakukan agar usaha fotografer pariwisata bisa berkembang dan bertahan. “Usaha ini hanya menanti kepunahan saja, tidak ada yang bisa dilakukan untuk mempertahankannya. Semua orang sudah memiliki kamera, sekarang anak SD saja bisa memotret, jadi kami memang sudah tidak punya harapan,” ceritanya. Lanjut Mon lagi, “mau dikembangkan seperti apa lagi, kami hanya bisa memotret, jika sekarang kami bertahan, itu hanya untuk bernostalgia, terlalu sayang berpisah dengan tempat yang kami kunjungi setiap hari selama puluhan tahun. Tidak bisa rasanya hidup tanpa memegang kamera dan melihat Jam Gadang,” ungkap Mon sambil menghisap rokoknya dalam-dalam.
Mon tidak mengharapkan apa-apa lagi dari dunia fotografi. Dia hanya ingin menghabiskan sisa umurnya dengan berladang dan beternak agar tetap sehat. Itu dilakoninya pada pagi hari, selanjutnya dia akan ke Jam Gadang, bertemu dengan orang-orang berbeda yang menikmati keindahan Bukittinggi dan bertemu dengan teman-teman sesama fotografer dan teman-teman yang berjualan di Jam Gadang. Jika ada yang membutuhkan jasanya untuk foto acara maupun service elektronik, dia kan meninggalkan Jam Gadang dan akan segera kembali saat pekerjaannya telah selesai.
Ya, Mon selalu setia pada Jam Gadang dengan kamera tergantung di leher, tas kulitnya dan senyumnya yang khas menawarkan jasa pada wisatawan yang menghabiskan harinya di Jam Gadang.(Hijrah.A.S)
NB: Sudah Diterbitkan Di Harian Pagi Padang Ekspres

Tidak ada komentar:

Posting Komentar